Rabu, 14 September 2011

AJARAN AHMADIYAH; Kesesatan dan Pembangkangan atas Ajaran Islam*)


A.  Pendahuluan
Pokok-pokok keimanan di dalam ajaran Islam telah mengalami banyak tantangan sepanjang sejarah Islam. Sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar, sudah barang tentu umat Islam akan memberikan respon bagi setiap upaya dan ajakan berupa dakwah dan klaim yang menggoyahkan pokok-pokok keimanan tersebut. Sejarah telah mencatat sosok Musailamah al-Kadzdzab, al-Aswad al-‘Ansi dan lain-lain yang mengaku Nabi dan mengingkari ajaran-ajaran Islam. Musailamah al-Kadzdzab adalah cikal bakal yang melahirkan generasi serupa di jagad Islam modern. Di Indonesia, hirup-pikuk penyimpangan ini tidak kalah keras dibanding dunia Islam lain. Sebutlah di tahun 2000 ini semisal Lia Eden (dengan kerajaan Tuhannya, Ahmad Muzaddek yang mengaku al-masih al-maw’ud. Sebelumnya ada Isa Bugis di Aceh (1926) yang mengobrak-abrik al-Qur’an, HMA. Bijak Bestari yang mengaku Tuhan (2001) bahkan di Makassar, Paruru Dg. Tau (2010) yang mengaku mendapat wahyu untuk melakukan pembaruan. Belum terhitung pula ajaran-ajaran yang berkembang di Indonesia yang menafikan syariat dan ibadah yang merupakan hal yang aksiomatik (maa ‘ulima min al-Din bi al-dlarurah), baik secara keseluruhan maupun secara parsial.
Ajaran Ahmadiah yang sebenarnya sudah hadir dan memberi resistensi sejak tahun 1925 menemui momentum akhir-akhir ini. Sebagai gambaran awal, Aliran Ahmadiyah khususnya aliran Qadiyan dalam ajarannya menyalahi pokok-pokok keimanan. Mereka berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad (MGA) dari India adalah nabi dan rasul, kemudian bagi yang tidak mempercayainya adalah kafir murtad.
Ahmadiyah memang mempunyai nabi dan rasul sendiri, yaitu Mirza Ghulam Ahmad dan memiliki kitab suci sendiri, yaitu kitab suci Tadzkirah. Mereka menganggap kitab suci Tadzkirah adalah kumpulan wahyu yang diturunkan Tuhan kepada MGA yang kesuciannya sama dengan kitab suci Alquran, karena sama-sama wahyu dari Tuhan.
Kalangan Ahmadiyah mempunyai tempat suci tersendiri untuk melakukan ibadah haji, yaitu Rabwah dan Qodiyan di India. Bila dalam keyakinan umat Islam para nabi dan rasul yang wajib dipercayai hanya 25 orang, dalam ajaran Ahmadiyah ada 26 orang. Yang ke-26 tersebut adalah "nabi" Mirza Ghulam Ahmad.
Padahal di dalam ajaran Islam, hal-hal tersebut adalah titik paling sensitiv karena bagian dari keimanan. Keimanan yang murnilah-lah yang membuat kita selamat (QS. Al-Nur (24): 39). Hal mana membuat adanya perlawanan fisik dan non-fisik atas segala hal yang mengganggu stabilitas iman umat Islam termasuk di Indonesia.
Karena itu, diperlukan sebuah pengetahuan dan wawasan yang lebih dalam mengenai Ahmadiyah serta acuan yang jelas untuk menilai Ahmadiyah dan aliran dan paham-paham keagamaan yang lain dalam Islam sehingga Umat Islam Indonesia dapat memberi penilaian dan justifikasi. Hal ini juga menjadi penting untuk menjadi referensi pemerintah dan lembaga tinggi yang menaungi umat Islam Indonesia demi menghindarkan terjadinya tindakan-tindakan main hakim sendiri. Sebab boleh jadi, tindakan main hakim sendiri dari umat Islam adalah aksi yang ditunggu demi menafikan aspek rahmat dari ajaran Islam dan penggambaran bahwa Islam adalah agama kekerasan yang tidak rasional.
B.  Upaya Pemerintah Atas Issu Ahmadiyah
Ahmadiyah mulai menapakkan kakinya di bumi Nusantara pada tahun 1925 dan terbentuk dalam dua organisasi; Gerakan Ahmdiyah Indonesia (GAI) sebagai organisasi aliran Lahore, dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai organisasi pengikut aliran Qadiyan. Khusus JAI, organisasi ini telah terdaftar di Kementerian Kehakiman pada tanggal 13 Maret 1953 sebagai sebuah badan hukum, dan terdaftar di Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 5 Juni 2003 sebagai organisasi kemasyarakatan.
Menurut perkiraan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, jumlah pengikut JAI berkisar 50 – 80 ribu orang tersebar di 320 cabang di seluruh Indonesia. Khusus di Makassar jumlah anggota JAI adalah sekitar 500 orang.
Keberadaan Ahmadiyah secara umum, sebenarnya telah menghadapi resistensi dari umat Islam di Indonesia sejak era 30-an, dalam bentuk keberatan, perusakan bangunan, masjid dan mushallah milik Ahmadiyah di berbagai daerah. Khusus di Makassar, resistensi terhadap mereka terjadi pada tahun 1981. Setelah reda di era 90-an, resistensi ini kemudian muncul lagi, dimulai di NTB (2002), Parung dan Bogor (2002), Kuningan, Majalengka dan Sukabumi (2008) dan awal tahun ini 2011, di Cikeusik, Makassar kemudian meluas ke banyak wilayah di Nusantara.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya telah menganggap Aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat, menyesatkan dan berada di luar Islam lewat fatwanya pada MUNAS II tanggal 26 Mei - 1 Juni 1980 M. di Jakarta. Fatwa ini lahir setelah mempelajari data dan fakta yang ditemukan dalam 9 (sembilan) buah buku tentang Ahmadiyah. Fatwa ini kemudian lebih ditegaskan lagi pada MUNAS VII tanggal 29 Juli 2005 bahwa Ahmadiyah dengan dua alirannya sesat dan orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
Dalam rangka menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah  (Kementerian Agama, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Mabes Polri dan beberapa tokoh Agama telah melakukan dialog dengan Pengurus Besar JAI pada tanggal 7 September 2007 hingga 14 Januari 2008 yang menghasilkan 12 butir penjelasan PB-JAI.
Ke-12 butir penjelasan ini kemudian dipantau oleh Tim yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah di atas selama 3 bulan di 55 titik komunitas JAI yang terdapat di 33 Kabupaten/Kota. Di samping itu, Kementerian Agama mengkaji 21 buah buku yang diterbitkan dan digunakan di kalangan JAI, serta sebuah buku berjudul Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat yang diterbitkan oleh JAI.
Dari hasil pantauan dan eveluasi di lapangan disimpulkan bahwa JAI tidak sepenuhnya melaksanakan 12 butir penjelasan PB-JAI dengan kenyataan bahwa JAI;
1.     Tetap meyakini ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW;
2.     Tetap meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, al-Masih al-Maw’ud dan Imam Mahdi;
3.     Tetap meyakini isi buku Tadzkirah tentang kewahyuan dan kebenarannya, termasuk klaim tentang kenabian Ghulam Ahmad di dalamnya;
4.     Tetap menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan buku Tadzkirah;
5.     Tetap tidak bersedia bermakmum dalam shalat kepada orang Islam non-JAI karena dianggap kufur (ingkar) kepada kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang berarti JAI mengkafirkan Muslim non-JAI secara perbuatan.
Di samping pembangkangan dan ketidak sesuaian pengakuan mereka di depan Pemerintah, mereka juga secara sistematis terus berupaya mencari dukungan umum untuk melakukan kegiatan dan penafsiran keagamaan yang menyimpang melalui buku-buku dan pengiriman muballigh-muballihgnya ke berbagain daerah. Mereka juga memberi penegasan tidak akan mengubah sikap keagamaan dan penafsiran mereka yang menyimpang melalui surat  Nomor: 911/Amir/II/2008 yang mereka kirim ke Kementerian Agama tanggal 21 Pebruari 2008. Demikian pula dengan keterangan Pimpinan PB-JAI pada pertemuan dengan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tanggal 10 Maret 2008.
Karena itu, pada rapat tanggal 16 April 2008, BAKOR PAKEM merekomendasikan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri agar warga JAI diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam.
Sebagai tindak lanjut rekomendasi itu, pemerintah mengeluarkan SKB dengan mengacu kepada UUD 1945 pasal 28 dan 29, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, dan UU No. 1/PnPs/1965 tentang pencegahan dan/atau penodaan agama.
SKB No. 3 tahun 2008 berisi 6 butir yang intinya terbagi atas dua bagian; pertama,  Peringatan dan perintah yang ditujukan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.  Sanksi atas pelanggaran ini adalah pasal 156a KUHP tentang penodaan Agama. Kedua, memerintahkan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Sanksi atas warga yang melanggar adalah Pasal 156 KUHP tentang penyebaran kebencian dan permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan kekerasan terhadap orang atau barang, Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 406 tentang perusakan barang, dan peraturan lainnya.
Selain itu SKB memerintahkan aparat Pusat dan Daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dan pengawasan bagi pelaksanaan SKB ini. Penjabaran poin ini tentu saja diserahkan kepada aparat Pusat dan Daerah.
C.  Mengapa Ahmadiyah Sesat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) tanggal 4-6 November 2007 telah menetapkan sepuluh kriteria aliran sesat. Apabila ada satu ajaran yang terindikasi punya salah satu dari kesepuluh kriterai itu, bisa dijadikan dasar untuk masuk ke dalam kelompok aliran sesat:
1.   Mengingkari rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir, Qadla dan Qadar) dan rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat syahadah, shalat 5 waktu, puasa, zakat, dan Haji)
2.   Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah),
3.   Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran
4.   Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran
5.   Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
6.   Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
7.   Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
8.   Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir
9.   Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i
Dalam dialog yang diprakarsai Balitbang Kementerian Agama November 2007, pihak Ahmadiyah telah mengemukakan tanggapan atas kesepuluh kriteria MUI tersebut. Pada kesempatan itu Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengemukakan satu persatu tanggapan atas kesepuluh kriteria tersebut dan membuktikan bahwa Ahmadiyah tidak tergolong aliran sesat sesuai dengan sepuluh kriteria yang ditetapkan MUI tersebut. Di bawah ini tanggapan yang dikemukakan pihak Ahmadiyah yang coba kita jawab berdasarkan sumber-sumber yang ada.
1. Mengingkari salah satu rukun Iman dan rukun Islam,
Tanggapan: Ahmadiyah berpegang teguh kepada rukun Iman dan rukun Islam sebagaimana pernyataan pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, “Sesungguhnya kami orang-orang Islam yang beriman kepada Allah yang Tunggal, yang segala sesuatu bergantung pada-Nya, yang MahaEsa, dengan pengakuan ‘tidak ada Tuhan kecuali Dia’; kami beriman kepada kitabullah Al Qur’an dan Rasul-Nya, paduka kita Muhammad Khataamun Nabiyyin; kami beriman kepada Malaikat, Hari Kebangkitan, Surga dan Neraka . . . dan kami menerima setiap yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik kami mengerti maupun kami tidak mengerti rahasianya serta kami tidak mengerti hakikatnya; dan berkat karunia Allah, aku termasuk orang-orang mukmin yang meng-esakan Tuhan dan berserah diri.” (Nurul Haq, Juz I, halaman 5)
Jawaban: pengakuan bahwa mereka tidak mengingkari satupun dari rukun iman dan Islam berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Lagi pula di literatur (al-Tadzkirah) mereka jelas sekali bahwa MGA adalah Nabi yang diangkat langsung oleh Allah dan mendapat wahyu. Seperti di hal. 43 dan 496:
وخاطبنى ربى وقال: يا أحمد بارك الله فيك ... dan يا أحمد, جعلت مـرسلا yang artinya “Dan Tuhanku berbicara langsung kepadaku (MGA): Wahai Ahmad, Allah telah memberkahimu.” Dan “Wahai Ahmad, kamu telah dijadikan sebagai seorang rasul.”
Hal ini sangat bertentangan dengan QS. Al-Ahzab (33): 40:
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJŠÎ=tã ÇÍÉÈ  
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Ini juga bertentangan dengan banyak hadis yang menerangkan bahwa tidak ada lagi kenabian setelah wafatnya Rasulullah SAW. Seperti HR. Bukhari: 3609, HR. Muslim: 157 dan HR. Tirmidzi:
قال صلعم: إن الرسالة و النبوة قد انقطعت فلا رسول بعدى ولا نبىّ .
“Kerasulan dan Kenabian telah terputus, karena itu tidak ada rasul maupun Nabi sesudahku. (HR. Tirmidzi).
Dia mengatakan, "Sesungguhnya Allah menurunkan ayat-ayat untuk membuktikan kebenaran risalahku, yang sekiranya ayat-ayat itu dibagi kepada seribu nabi, niscaya cukuplah ayat tersebut membuktikan kenabian mereka semua, akan tetapi setan manusia tidak percaya hal ini." (Jasymah Ain makrifah 317 RK 332).
Lebih parah lain, di antara ucapannya yang tidak terkontrol, MGA menganggap dirinya sebagai Tuhan atau berposisi sama dengan Tuhan:
"Telah diberikan kepadaku untuk mematikan dan menghidupkan, dari Tuhan Yang Maha besar."
"Sesungguhnya urusanmu jika kamu menghendaki sesuatu, hanya cukup mengatakan: 'Jadilah!' Maka jadilah ia." (Tadzkirah 525, 656, 76. Haqiqah al-Wahy 105, RK 22/108).
"Engkau dari-Ku seperti kedudukan mentauhidkan-Ku dan mengesakan Aku." (Injam Atiham 51).
Bantahan PB-JAI diatas adalah kebohongan dan tentu saja umat Islam tidak akan percaya karena bertentangan dengan kenyataan mereka di lapangan. Lagi pula di dalam ajaran mereka ada ajaran Taqiyyah, yaitu kebolehan berbohong untuk mempertahankan akidah mereka.
2. Meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (Al Qur’an dan As Sunnah),
Tanggapan: Ahmadiyah tidak meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Pendiri Ahmadiyah menyatakan dengan tegas: “Tidak masuk kedalam Jemaat kami kecuali orang yang telah masuk ke dalam Islam dan mengikuti Kitab Allah dan Sunnah-sunnah pemimpin kita sebaik-baik manusia (Muhammad Rasulullah SAW) dan beriman kepada Allah, Rasul-Nya yang MahaMulia yang Maha Pengasih dan beriman kepada khasyr dan nasyr, surga dan neraka jahiim; dan berjanji dan berikrar bahwa ia tidak akan memilih agama selain agama Islam dan akan mati diatas agama ini, agama fitrah, dengan berpegang teguh kepada kitab Allah yang Maha Tahu; dan mengamalkan setiap yang telah ditetapkan dari Sunnah, Al Qur’an dan Ijma’ para sahabat yang mulia; siapa yang mengabaikan tiga perkara ini sungguh ia telah membiarkan jiwanya dalam api neraka. (Lihat buku Ruhani Khazain jilid XIX, hal.315 dan Mawahibur-Rahman, hal 96).
Jawaban: Pada kenyataannya, kitab Tadzkirah dan literatur mereka dipenuhi akidah yang bertentangan dengan dalil al-Qur’an dan sunnah, seperti mengkafirkan orang yang tidak mengakui MGA sebagai Nabi, klaim surga yang begitu murah, yaitu barang siapa yang dimakamkan di Rabwah pasti masuk surga, dan lain-lain.
3. Meyakini turunnya wahyu sesudah Al Qur’an,
Tanggapan: Ahmadiyah meyakini Al Qur’an itu wahyu Allah yang mengandung syariat yang lengkap dan terakhir, karena itu tidak akan turun lagi wahyu sesudah Nabi Muhammad SAW yang mengandung syariat yang mengganti atau merubah syariat Al Qur’an.
Keyakinan Ahmadiyah tentang wahyu didasarkan pada surah Al-Syura (42):52 yang artinya, “Dan tidaklah mungkin bagi manusia agar Allah berfirman kepadanya, kecuali dengan wahyu langsung atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang Rasul guna mewahyukan apa yang dikehendaki-Nya dengan izin-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Luhur, Maha Bijaksana.”
Kalimat ‘yukallimahullahu’ dalam ayat ini berbentuk fi’il mudhori yang menunjukkan waktu sekarang, dan akan datang. Ini menunjukkan bahwa adanya wahyu adalah kekal sebagaimana kekalnya Dzat Allah sebab ia terbit dari sifat mutakallim Allah Yang Maha Kekal.
Sedangkan wahyu yang diturunkan hanya untuk menjelaskan dan menjunjung tinggi Al Qur’an akan tetap ada dan tetap diperlukan sampai kiamat dan wahyu-wahyu semacam itu pernah diterima para Sahabat Nabi Muhammad SAW. Sesudah Rasulullah Muhammad SAW wafat, para sahabat yang akan memandikan jenazah nabi Muhammad SAW menerima wahyu tentang bagaimana hendaknya jenazah Rasulullah Muhammad SAW , “Mandikanlah Nabi SAW sedang padanya ada pakaiannya.” (Hadits Al Baihaqi dari Siti Aisyah r.a. dalam Tarikhul Kamil jil. 2 halaman 16 dan Misykatus Syarif, jil. 3 babul Kiromat hal. 196-197). Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Muhyiddin Ibnu Arabi dan lain-lain, juga pernah menerima wahyu jenis ini. (tentang hal ini dapat dibaca pada buku Muzhatul-Majalis, jil. 1 hal. 107, babul-khilmi washfchi; Al Mathalibul Jamaliyah, Cetakan Mesir tahun 1344 halaman 23; dan Al futuhatul Makiyyah, jilid III, halaman 35).
Pendapat yang mengatakan bahwa sama sekali tidak ada wahyu dalam bentuk apapun setelah kewafatan Rasulullah Muhammad SAW sama saja dengan mengatakan bahwa sifat mutakallim Allah Taala telah terhenti, dengan kata lain Allah telah mengalami pengurangan dalam sifat-sifat-Nya. Bila salah satu sifatnya dinyatakan telah tidak berlaku lagi maka tidak tertutup kemungkinan bagi sifat-sifat-Nya yang lain akan berkurang dan ini akhirnya merusak keimanan seseorang kepada Allah.
Jawaban: Memang benar wahyu telah berhenti setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ajaran Islam telah sempurna, seperti dijelaskan pada ayat yang paling akhir turun. Sehingga tidak diperlukan lagi adanya wahyu. Sehingga jika ada petunjuk yang diyakini dari Allah, itu adalah ru’yah shalihah ‘mimpi/arahan yang benar’ sebagaimana sabda Rasulullah. Ru’yah shalihah ini tidak mengandung syariat dan hanya turun kepada orang-orang yang dekat dengan Allah, dan tentu saja tidak akan turun kepada orang yang dilaknat oleh Allah. Apa yang turun kepada para sahabat adalah bentuk ru’yah shalihah, andai riwayat tersebut benar.
Klaim mereka bahwa wahyu yang turun kepada MGA tidak mengandung syariat, terbantahkan sendiri oleh ajaran mereka tentang adanya larangan dan perintah, adanya akidah pengkafiran dan beberapa bentuk penyelewengan ibadah yang tentu saja termasuk dalam wilayah syariat.
Dasar mereka bahwa wahyu terus turun berdasarkan kalimat ‘yukallimahullahu’ dalam QS. Al-Syura (42):52 karena berbentuk fi’il mudhari yang menunjukkan waktu sekarang, dan akan datang, menunjukkan ketidakfahaman mereka tentang bahasa Arab. Di dalam bahasa Arab, terkadang perbuatan di masa lampau diungkap dengan bentuk perbuatan masa sekarang dan akan datang karena adanya nilai balaghah, antara lain karena perbuatan itu berulang di masa lampau dan karena perbuatan itu sangat penting nilainya dan ingin dihadirkan dalam pemikiran pembaca dan pendengar. Demikian kasus ‘yukallimuhullahu…” karena wahyu itu terus berulang datang kepada Rasulullah, baik karena adanya tuntutan datangnya wahyu atau tidak. Contoh lain, adalah penciptaan Adam dan Isa a.s. di dalam al-Qur’an (QS. Al Imran (3): 59, digambarkan dalam bentuk fi’il mudlari  (كن فيكون), padahal tidak terbantahkan bahwa Nabi Adam dan Isa a.s. diciptakan oleh Allah di masa lampau.   
4. Mengingkari autentisitas dan kebenaran Al Qur’an,
Tanggapan: Ahmadiyah meyakini Al Qur’an yang kita warisi sekarang ini asli sebagaimana diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dulu, dan Ahmadiyah menerimanya secara utuh. Pendiri Ahmadiyah menyatakan: “Siapa yang menambah atau menguranginya maka mereka itu tergolong setan.” (lihat, Mawahibur Rahman, halaman 285) ”…. Kami tidak menambah sesuatu dan tidak pula mengurangi sesuatu dari Al Qur’an dan diatasnya kami hidup dan mati. Siapa yang menambah pada syariat Al Qur’an ini seberat dzarroh (atom) atau menguranginya atau menolak akidah ijma’iyah. Maka baginya kutukan Allah, malaikat dan manusia semuanya.” (Anjami Atham, halaman 144) ; “…Al Qur’an itu sesudah Rasulullah SAW (wafat) terpelihara dari perubahan orang-orang yang merubah dan kesalahan dari orang-orang yang menyalahkan; dan Al Qur’an itu tidak akan dimanshukhkan dan tidak akan bertambah dan berkurang sesudah Rasulullah (wafat).” (lihat, Ainah Kamalati Islam, halaman 21).
Jawaban: ucapan MGA dan keyakinan para pengikutnya kembali kepada mereka sendiri. Mereka karena itu adalah setan dan mendapat kutukan Allah, para Malaikat dan manusia semuanya. Itu dikarenakan pengingkaran mereka atas kebenaran al-Qur’an bahwa Muhammad adalah rasul terakhir. Begitu pula, mereka menambah dan mengurangi ayat-ayat al-Qur’an, serta memutar balikkannya sesuai dengan nafsu mereka. Seperti bisa terlihat di dalam kitab al-Tadzkirah.
5. Menafsirkan Al Qur’an yang tidak berdasar kaidah-kaidah tafsir,
Tanggapan: Ahmadiyah menafsirkan Al Qur’an berdasarkan 7 kaidah penafsiran yang satu dengan lainnya tidak boleh saling bertentangan, yaitu:
(A) Dengan Al Qur’an sendiri. Tafsir suatu ayat tidak boleh bertentangan dengan ayat yang lain,
(B) Dengan tafsir Rasulullah SAW. Jika satu arti dari ayat Al Quran terbukti telah diartikan oleh Rasulullah SAW maka kewajiban seluruh orang Islam untuk menerima itu tanpa keraguan dan keseganan sedikitpun,
(C) Dengan tafsir para Sahabat Rasulullah SAW. Sebab mereka adalah pewaris utama dan pertama dari nur ilmu-ilmu nubuwat Rasulullah SAW,
(D) Dengan merenungkan isi Al Quran dengan jiwa yang disucikan,
(E) Dengan Bahasa Arab,
(F). Dengan hukum Alam, sebab tidak ada pertentangan antara tatanan rohani dengan tatanan alam semesta,
(G) Dengan tafsir yang diperoleh melalui bimbingan langsung dari Allah seperti wahyu, mimpi, dan kasyaf. (disarikan dari buku ‘Barakatud do’a’, karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad).
Jawaban: ini bagian dari kebohongan Ahmadiyah, sebab pada kenyataannya mereka menafsirkan al-Qur’an tidak berdasarkan kaidah-kaidah di atas, melainkan berdasarkan hawa nafsu mereka sendiri. Andai mereka menggunakan kaidah penafsiran di atas, tentu saja mereka tidak mengakui MGA sebagai Nabi, tidak mengakui Tadzkirah sebagai kitab suci, tidak menganggap Rabwah dan Qadyan sebagai tanah suci, tidak menjual murah surga, tidak mengkafirkan orang Muslim dan lain-lain.
Contoh penafsiran sesat mereka adalah: Firman Allah pada QS. Al Imran (3): 97 ومن دخله كان آمنا"”, "Siapa yang memasukinya aman." Yang dimaksud ialah masjid Qadian. (Al-Qadian mempunyai nama lain, yaitu Darul Aman). (Tablig Risalat 6/152).
6. Mengingkari kedudukan hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam,
Tanggapan: Ahmadiyah tidak pernah mengingkari kedudukan Hadits sebagai sumber ajaran Islam. Pendiri Jemaat Ahmadiyah menegaskan, “Sarana petunjuk ketiga adalah Hadits, sebab banyak sekali soal-soal yang berhubungan dengan sejarah Islam, budi pekerti, fiqh dengan jelas dibentangkan di dalamnya. Faedah besar daripada Hadits selain itu ialah, Hadits merupakan khadim (abdi) Al Qur’an.” (Bahtera Nuh, bahasa Indonesia, edisi kelima, halaman 87-88)
Jawaban: Lagi-lagi ini bagian dari Taqiyyah mereka. Pada kenyataannya mereka mengingkari Hadis sebagai sumber ajaran Islam dengan mengingkari hukum yang terdapat dalam hadis Nabi. Seperti mengenai Jihad. Jihad di dalam banyak riwayat adalah  kewajiban yang terus menerus dan merupakan amalan yang paling mulia setelah keimanan.
      عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْهم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلعم قَالَ تَكَفَّلَ اللَّهُ لِمَنْ جَاهَدَ فِي سَبِيلِهِ لا يُخْرِجُهُ إِلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ وَتَصْدِيقُ كَلِمَاتِهِ بِأَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ يَرْجِعَهُ إِلَى مَسْكَنِهِ الَّذِي خَرَجَ مِنْهُ مَعَ مَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ
Terjemahnya: .......Rasulullah saw. bersabda: Allah menjamin orang yang berjihad di jalan-Nya, yang benar-benar keluar hanya karena jihad di jalan Allah dan untuk membenarkan kalimat-kalimat Allah, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga (jika ia syahid) atau Allah akan mengembalikannya ke rumah tempatnya berangkat dengan pahala atau ganimah (rampasan perang) yang diperolehnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ.

Terjemah: Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: “Rasulullah saw. Ditanya amalan apa yang paling utama? Rasulullah menjawab: “Beriman kepada Allah dan rasul-Nya.” Kemudian beliau ditanya lagi: “Kemudian apalagi?” Rasul berkata: “Berbuat baik kepada kedua orang tua.” Abdullah bertanya lagi: “Kemudian apalagi?” Rasul berkata: “Berjihad di jalan Allah.” Beliau ditanya lagi: “Kemudian apalagi?” Rasul berkata: “Haji yang mabrur.”
Jihad di dalam ajaran Ahmadiyah telah digugurkan. Mereka mengharamkan apa yang telah diwajibkan Allah SWT:
"Sesungguhnya Allah telah meringankan secara bertahap kekerasan jihad, yaitu perang di jalan Allah. Pada zaman Nabi Musa a.s. diperbolehkan membunuh anak-anak, lalu pada zaman Nabi Muhammad saw. dihapuskan bolehnya membunuh anak-anak, orang tua, dan wanita. Kemudian, pada zamanku dihapuskanlah jihad itu sama sekali." (Footnote Arba'in 4/101, RK 12/443).
"Pada hari ini telah dihapuskan jihad dengan senjata. Tak ada lagi jihad setelah hari ini. Maka siapa yang mengangkat senjata terhadap orang kafir dan menamai dirinya sebagai prajurit, ia telah menyalahi Rasulullah saw. yang telah diumumkan tiga belas abad yang lalu tentang penghapusan jihad pada zaman Al-Masih yang dijanjikan dan saya adalah Al-Masih yang dijanjikan itu."
"Tidak ada lagi jihad setelah kemunculanku sekarang ini, karena kami mengangkat panji perdamaian dan bendera keamanan." (Khotbah Ilhamiyah 28. Tablig Risalat 29/47).
"Tinggalkan pemikiran jihad sekarang juga. Karena, peperangan untuk agama telah diharamkan. Telah datang imam dan Al-Masih, dan telah turun cahaya dari langit, maka tidak ada lagi jihad."
"Bahkan barangsiapa yang berjihad di jalan Allah sekarang, maka ia adalah musuh Allah, ingkar terhadap nabi yang meyakini hal ini." (Terjemah bait syair dalam bahasa Urdu dalam kitab Tahta al-Kolrowiyah 39).
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan Nabi dan Rasul,
Tanggapan: Ahmadiyah tidak pernah menghina, melecehkan atau merendahkan Nabi dan Rasul. Ahmadiyah menghormati dan mengimani semua Nabi dan Rasul Allah sebagaimana Al Qur’an mengajarkan kepada kaum Muslim, “Kami tidak membeda-bedakan di antara seorangpun dari Rasul-Rasul-Nya yang satu terhadap yang lain.” (Al Baqarah: 286).
Jawaban: Pada kenyataannya ajaran MGA mengeliminir Rasulullah SAW dari kedudukannya sebagai manusia paling agung dan menempati kedudukan itu. Bukankah itu bentuk pelecehan dan penghinaan kepada Rasulullah SAW? Dimulai dengan klaim bahwa dirinyalah (MGA) yang dimaksud Ahmad pada QS. Shaff (61): 6:
 ŒÎ)ur tA$s% Ó|¤ŠÏã ßûøó$# zNtƒótB ûÓÍ_t6»tƒ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ÎoTÎ) ãAqßu «!$# /ä3øs9Î) $]%Ïd|ÁB $yJÏj9 tû÷üt/ £ytƒ z`ÏB Ïp1uöq­G9$# #MŽÅe³t6ãBur 5AqßtÎ/ ÎAù'tƒ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¼çmèÿôœ$# ßuH÷qr& (
“Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).”
Berikut ini beberapa bentuk pelecehan terhadap Rasulullah SAW yang dikutip dari sumber-sumber mereka:
"Pada wahyu ilahi ini, aku diberi nama Muhammad Rasulullah." (Izalah Khatha' 3 RK 18/207).
"Dia telah memberikan kepadaku sesuatu yang tidak diberikan kepada siapa pun di dunia ini." (Tadzkirah 658).
"Dia telah memberikan kepadaku sesuatu yang tidak diberikan kepada siapa pun di dunia ini." (Ainah Kamalat Islam 374 RK 5/374).
"Kami telah lebihkan engkau atas selain engkau." (Tadzkirah Majuma'ah al-Wahyil Muqaddas 709).
"Aku telah turunkan kursi sandaran yang banyak dari langit dan Aku perlihatkan kepadamu bahwa Aku mengangakatmu di atas semuanya." (Tadzkirah 346--347).
"Ada satu tempat kosong sebesar satu batu bata yang ditinggal oleh pembangunan bangunan itu, lalu Allah menghendaki untuk disempurnakan batu itu dengan pemasangan batu bata yang terakhir. Akulah batu bata tersebut wahai orang-orang yang melihat." (Khotbah Ilhamiyah 177--178, RK 16).
Ini adalah pemutarbalikan hadis Nabi yang sejatinya adalah Hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari kitab 61: 18 (...أنا اللبنة, ولا نبىّ بعدى) “Akulah Batu Bata itu, dan tidak ada Nabi setelah Aku.”
"Sesungguhnya Muhammad turun kembali di tengah-tengah kita dalam keadaan yang lebih hebat dari kebangkitan beliau yang pertama. Siapa yang mau melihat Muhammad dalam bentuknya yang paling sempurna, hendaklah ia melihat Ghulam Ahmad di Al-Qadian."
"Dia memiliki ucapan-ucapan mukjizat, demikian pula aku, memiliki ucapan yang membuat semua orang terpesona." (I'jaz Ahmadi, Al-Qasidah al-I'jazizah 71, RK 19/183).
"Sesungguhnya Nabi saw. memiliki tiga ribu mukjizat." (Kitab Tuhfah Kolrawiyah 67, RK 17/153). "Dan sesungguhnya mukjizatku lebih dari satu juta mukjizat." (Tadzkirah asy-Syahadatain 41, RK20/43).
"Setiap orang mampu untuk mengangkat dan mendapatkan kedudukan yang tertinggi, sampai sekiranya ia mau tunduk lebih tinggi kedudukannya dan posisinya dari Muhammad saw., niscaya ia mampu mencapainya." (Yaumiat Ibnu al-Qadiyani, khalifah kedua, yang dimuat di Al-Fadhl 17 Juli 1922M).
"Janganlah kamu mengiyaskan aku dengan orang lain. Dan jangan pula kamu kiyaskan orang lain denganku. Jangan binasakan dirimu dengan keraguan, sesunggunya aku inilah isi yang tidak ada kulitnya. Aku adalah roh yang tidak ada jasanya. Aku adalah matahari yang tidak dihalangi oleh asap. Carilah yang sama denganku, pasti kamu tidak mendapatkannya, sekalipun kamu mencarinya dengan alat pencari." (Khotbah Ilhamiyah 52, RK 16).
Dan berbagai klaim-klaim yang menunjukkan bahwa MGA sebenaranya adalah orang yang tidak sehat pikirannya, disebabkan kata-katanya yang tidak logis, tidak terkontrol dan saling bertentangan antara satu komentar dengan komnetar yang lain.
8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir,
Tanggapan: Ahmadiyah tidak mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir yang membawa syari’at. Nabi Muhammad SAW sendiri memberitakan bahwa di akhir zaman akan turun Isa Ibnu Maryam yang kedudukannya adalah Nabi, (Hadits Bukhari, Kitabul Anbiya’, bab Nuzul Isa Ibnu Maryam), namun tidak membawa syari’at baru melainkan menegakkan syari’at Islam.
Jawaban: Hadis yang dimaksud di atas masih menjadi khilafiah di antara para ulama. Namun mereka sepakat bahwa kalaupun makna yang dimaksud sesuai dengan teks hadis, maka Isa ibnu Maryam yang datang itu bukanlah MGA melainkan Isa putra Maryam, tidak sebagai Nabi yang membawa syariat tetapi untuk membenarkan syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan memberi peringatan kepada umat Muhammad akan kebenaran risalah Muhammad SAW.
9. Mengubah, menambah, dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat,
Tanggapan: Ahmadiyah tidak pernah mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat, bahkan Ahmadiyah berupaya melaksanakan semua sunnah Rasulullah SAW dan Ijma’ sahabatnya Yang Mulia. Pendiri Ahmadiyah menyatakan : “Kami berlepas diri dari semua kenyataan yang tidak disaksikan syariat Islam.” (Tuhfah Baghdad, halaman 35).
Jawaban: Pada kenyataannya, mereka menganggap haji tidak berarti kecuali bila haji ke Rabwah dan Qadiyan, menganggap tidak sah bermakmum di belakang penganut non-Ahmadiyah, tidak menyalati jenazah selain jamaah Ahmadiyah, dan lain-lain.
10. Mengafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i,
Tanggapan: Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengafirkan seorangpun yang mengaku Islam atau mengucapkan dua Kalimah Syahadah.
Perlu diingat dan dipedomani bahwa Nabi Besar Muhammad SAW telah membuat definisi seorang dikatakan Muslim yang didasarkan atas amal seseorang dan bukan atas niat atau pikiran yang ada dalam benaknya. Misalnya, “Siapa saja yang shalat sebagaimana shalat kami, menghadap kepada kiblat kami dan memakan sesembelihan kurban kami, maka itu petunjuk bagimu (bahwa ia adalah) seorang muslim. Ia menjadi tanggungan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, janganlah kamu merusak tentang tanggungan Allah itu.” (Bukhari dan An Nasaai dan Kanzul Umal juz 1/398).
Jawaban: Sebaliknya mereka menganggap kafir semua orang yang tidak menerima MGA sebagai Nabi, bahkan anak kecil sekalipun juga mereka kafirkan sehingga jenazahnya tidak boleh dishalati. Ini bisa kita lihat dalam ajaran mereka:
"Kami akan mendirikan sebuah jamaah, lalu Allah meniupkan terompet dengan mulut-Nya sebagai dukungan terhadap jamaah ini, maka tertariklah kepada suara ini semua orang yang selamat dan tidak ada yang tinggal, kecuali orang-orang yang celaka yang telah ditetapkan untuk mereka kesesatan, mereka ditinggalkan untuk memenuhi jahanam." (Barahin Ahmadiyah 5/82. RK 12/108).
"Sesungguhnya Allah mengilhamkan kepadaku bahwa orang yang tidak mengikutimu dan tidak masuk dalam baiatmu dan tetap menyalahimu, maka ia berdosa kepada Allah dan Rasul-Nya dan jahanamku." (Tadzkirah Majmu'ah Ilhammat 342).
"Semua umat Islam yang belum masuk ke dalam baiat Al-Masih yang dijanjikan (Al-Qadiani), baik mereka yang telah melanggar nama Ghulam Ahmad, maupun mereka yang belum mendengarkannya, seluruhnya orang kafir, keluar dari agama Islam." (Ainah Shadaqat 35, oleh putra Al-Qadiani dan khalifahnya yang kedua, Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad).
D.  Antisipasi terhadap Ahmadiyah dan Aliran Sesat lainnya
Penjelasan atas kesesatan Ahmadiyah di atas dan upaya mereka untuk terus menyebarkan paham sesatnya, menjadikan tantangan bagi umat Islam untuk menyingsingkan lengan baju lebih tinggi dalam rangka menjaga akidahnya. Ahmadiyah bukanlah satu-satunya paham atau ajaran yang akan berusaha menggerus keimanan umat Islam, akan tetapi seiring perjalanan waktu akan lahir dan bermunculan paham, ajaran dan orang-orang yang merupakan pelanjut spirit Musailamah al-Kadzdzab.
Karena itu, apapun bentuknya maka keputusan Majelis Ulama Indonesia mengenai 10 kriteria sesat dapat dijadikan acuan manakala lahir ajaran, paham ataupun klaim dari seseorang yang mengajarkan hal-hal yang berada di luar pokok-pokok keimanan dan hal-hal yang aksiomatik dalam pemahaman keagamaan umat Islam.
Allah telah menjadikan kita sebagai umat yang beriman dan mewajibkan kita melindungi diri dan keluarga dari api neraka karena hilangnya keimanan itu. Allah berfirman pada QS. Al-Tahrim (66): 6:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Karena itu, sebagai antisipasi diri dan keluarga dari paham-paham yang menyesatkan, di antaranya adalah:
1.     Meningkatkan keimanan dengan berupaya mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah. Allah memberi jaminan, bahwa orang-orang yang selalu meningkatkan dan menjaga keimanannya akan mendapat jaminan dari Allah berupa hidayah
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3øn=tæ öNä3|¡àÿRr& ( Ÿw Nä.ŽÛØtƒ `¨B ¨@|Ê #sŒÎ) óOçF÷ƒytF÷d$# 4
Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat  kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk…. (QS. Al-Ma’idah [5]: 105)
2.     Menggali lebih jauh ajaran Islam dan menambah wawasan berdasarkan akidah yang benar, tentu saja melalui sumber-sumber yang membawa kita kepada iman yang kokoh dan pengamalan ajaran yang intens.
¨br&ur #x»yd ÏÛºuŽÅÀ $VJŠÉ)tGó¡ãB çnqãèÎ7¨?$$sù ( Ÿwur (#qãèÎ7­Fs? Ÿ@ç6¡9$# s-§xÿtGsù öNä3Î/ `tã ¾Ï&Î#Î7y 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÎÌÈ  
“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu di perintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa (QS. Al- An’am [6]: 153)”
3.     Mendahulukan nash-nash al-Qur’an dan hadis sahih serta nalar yang sehat manakala mendapatkan ajaran yang baru namun berusaha menggugat kedudukan ajaran yang telah ada dan telah dipraktekkan dan dicontohkan oleh Nabi, para sahabat dan salafusshalih ulama umat ini.
4.     Mempelajari lebih jauh sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang paling mulia yang keluhuran akhlak dan moralnya telah diakui sendiri oleh Allah SWT. Lewat ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah lewat hadis perkataan, perbuatan dan penetapannya, terbukti bahwa Nabi Muhammad adalah sosok yang harus diteladani. Seluruh budi pekertinya adalah dambaan untuk dimiliki dan acuan bagi umat Islam untuk dilaksanakan.
Umat Islam akan berupaya hidup dan berakhlak seperti Rasulullah SAW. Bahkan cara matinyapun semua umatnya berharap mencontohinya.
Berbeda dengan MGA, yang menurut Hasan bin Mahmud Audah, mantan orang kepercayaan Khalifah Ahmdiyah ke-4, Tahir Ahmad, mati dalam keadaan menjijikkan. Dia meninggal di atas pembaringannya yang sekaligus tempatnya buang air kecil dan buang hajat. Disebabkan penyakitnya (baca: kolera) yang membuatnya tidak kuasa berjalan ke WC serta penyakit gulanya yang menahun, membuatnya buang air kecil hingga seratus kali dalam sehari. Audah kemudian melemparkan pertanyaan kepada pengikut Ahmadiyah, “maukah mereka mati seperti nabi mereka MGA?”
Hal ini tentu saja berbeda manakala umat Islam ditanya maukah mereka mati seperti cara matinya Nabi Muhammad SAW.
5.     Tetap menjaga aspek kerahmatan agama ini dengan tidak melakukan tindakan anarkis kepada penganut paham sesat yang telah jelas kesesatannya berdasarkan ketidaksesuaian dengan pokok-pokok keimanan ajaran Islam. Akan tetapi berupaya mengajak untuk kembali kepada ajaran yang murni. Allah memerintahkan kita untuk menyeruh kepada jalan-Nya dengan bijaksana dan nasehat yang baik serta argumentasi yang kuat dan menyampingkan cara-cara tidak terpuji dan cara-cara yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tentu saja, kita tidak ingin keluar dari golongan umat Muhammad yang cinta kedamaian dan keselamatan karena melakukan tindakan anarkis. Rasulullah pernah bersabda :orang yang dikatakan muslim adalah orang yang ucapan dan perbuatannya membuat orang lain selamat.”
E.  Penutup
Demikian gambaran singkat mengenai ajaran Ahmadiyah yang setelah dilihat lebih jauh membawa kita kepada sikap yang tegas bahwa mereka telah sesat dan keluar dari Islam.
Sejarah telah berulang. Ketika Musailamah al-Kadzdzab mati mengenaskan, begitu pula dengan MGA, ia mati karena kolera. Menurut keterangan MGA sendiri dalam Tabligh Risalat juz 10 hal. 120, ia menceritakan kemarahannya kepada Syaikh Tsanaullah al-Amru Tasri atau abu al-Wafa’ pemimpin ahlul Hadis, yang terus menerus menyebutnya sebagai orang terlaknat, pendusta dan perusak. MGA marah sekali sehingga MGA mengajak Abu al-Wafa’ ber-mubahalah (semacam sumpah mati). MGA mengumumkan bahwa jika ia dipihak yang benar ia memohon agar Allah mematikan Abu al-Wafa’ di masa hidupnya dengan penyakit-penyakit yang mebinasakan seperti thaun dan kolera atau penyakit lainnya. Begitu pula sebaliknya, jika Abu al-Wafa’ yang benar dengan segala tuduhannya terhadap dirinya, maka MGA juga memohon agar Allah mematikannya di masa hidup Abu al-Wafa’ dengan penyakit yang membinasakan pula.
Setelah berlalu 13 bulan sepuluh hari dari kejadian mubahalah itu, MGA yang meninggal setelah terkena kolera beberapa waktu lamanya, yaitu tepat pada tanggal 26 Mei 1908. Demikianlah akhir yang pasti bagi siapa saja yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta melakukan penistaan terhadap ajaran Agama yang sempurna ini, lalu kemudian tidak bertaubat.
Allah SWT berfirman pada QS. Al-Baqarah (2): 79
×@÷ƒuqsù tûïÏ%©#Ïj9 tbqç7çFõ3tƒ |=»tGÅ3ø9$# öNÍkÏ÷ƒr'Î/ §NèO tbqä9qà)tƒ #x»yd ô`ÏB ÏYÏã «!$# (#rçŽtIô±uŠÏ9 ¾ÏmÎ/ $YYyJrO WxŠÎ=s% ( ×@÷ƒuqsù Nßg©9 $£JÏiB ôMt6tGŸ2 öNÍgƒÏ÷ƒr& ×@÷ƒurur Nßg©9 $£JÏiB tbqç7Å¡õ3tƒ ÇÐÒÈ  
"Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis al-kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: 'Ini dari Allah,'(dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaanlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan."
Wallahu A’lam bishshawab     

(Shaifullah Rusmin)**)      
Sumber bacaan:

1.     ‘Abd al-Dzahir, Hasan Isa. Al-Qadiyaniyyah; Nasy’atuhaa wa tatwwuruhaa. Kairo: Mujamma’ al-Buhus al-Islamiyyah, 1992
2.     Al-‘Asqallāniy, Ahmad ibn Ali ibn Hajar. Fath al-Bāriy bi Syarh Şahīh al-Bukhāriy. Juz VI. Cet. I; Kairo: Dār al-Hadīŝ, 1998
3.     Al-Hadar, Abdullah Hasan. Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah. Tp. T.tp, 1977.
4.     Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama, 2008.
5.     www. Alislam.or.id
6.     Sumber-sumber lainnya


*) Dipresentasikan dalam Diskusi tentang Aliran Sesat dan Sikap Pemerintah di Masjid Nurullah
**)Penyuluh Agama Islam pada KUA Kec. Makassar